Pages

Sabtu, 02 April 2011

LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI


LOGIKA KETUHANAN DALAM EPISTEMOLOGI ILLUMINASI SUHRAWARDI
Setidaknya terdapat tiga persoalan keilmuan paling krusial saat ini, pertama soal dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang terdiri dari dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis, dan dampak psikologis.[1] Kedua, soal bangunan episteme[2] yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu, yaitu rasionalitas melebihi wahyu, kritik lebih dari sikap adaptif terhadap tradisi dan sejarah, progresivitas lebih dari sekedar konservasi tradisi, dan universalisme yang melandasi tiga elemen sebelumnya.[3] Ketiga, seiring dengan universalisme itu, elemen-elemen episteme tersebut lalu menjadi kekuatan “hegemonik”, sehingga tidak tersedia lagi ruang tafsir lain atas realitas.[4]http://www.mohammadmuslih.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Krisis peradaban modern, banyak kalangan mengatakan, bermula dari persoalan bangunan keilmuan itu. Keprihatinan mendalam para agamawan khususnya dan pemeluk agama pada umumnya, terkait problem pengetahuan ini, adalah karena dominasi rasionalitas itu telah jauh meninggalkan agama. Keyakinan adanya Tuhan dan peranNya sama sekali tidak disentuh, bahkan dinafikan dalam proses pengetahuan.
Tapi, benarkah Tuhan ikut berperan dalam proses pengetahuan manusia? Persoalan seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam tradisi agama-agama, seperti yang terjadi pada tradisi sufisme. Tetapi bagaimana penjelasannya. Inilah barangkali yang diperlukan. Kontribusi seperti itu bisa jadi memberikan jalan keluar atas kebuntuhan epistemologi saat ini atau paling tidak, menjadi model pengetahuan alternatif, semacam “second opinion”.
Pada sisi yang lain, ketegangan, bahkan peperangan karena sentimen agama kerap terjadi. “The Battle for God”, demikian ungkap Karen Amstrong. Benarkah Tuhan menghendaki perang? Secara epistemologis, sangat boleh jadi, tuhan yang diperjuangkan itu adalah tuhan yang ada pada konsepsi manusia (umat beragama), bukan Tuhan in Himself; bukan tuhan yang mencipta manusia (dan alam semesta) tetapi tuhan yang dicipta manusia dalam konsep-konsepnya itu.
Bangunan keilmuan yang bercorak rasionalis jelas berujung pada pembentukan konsep, teori dan semacamnya. Ini merupakan kelebihan sekaligus kelemahan model keilmuan yang bertumpu pada rumus-rumus manthiqi. Tetapi adakah alternatif lain, suatu bangunan keilmuan yang dapat mengantarkan “pengenalan” pada hakikat objek, termasuk Tuhan?
Dalam tradisi Islam, menarik untuk dilihat percikan pemikiran logika illuminasi Suhrawardi sebagai satu varian epistemologi Islam yang bercorak intuitif sekaligus bersifat teodesi. Dalam kerangka demikian, makalah ini akan menunjukkan keberatan Suhrawardi terhadap logika rasional Peripatetik dan mengungkap argumen filsafat Illuminasi tentang proses keilmuan (epistemologi) yang diklaim sebagai dapat mengantar manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya, serta menemukan relevansinya bagi keilmuan dewasa ini.
Mengapa harus Suhrawardi?
Suhrawardi dalam wacana pemikiran Islam tampaknya masih penuh “misteri”. Ia adalah seorang filosof Muslim besar. Pemikiran filsafatnya dikenal dengan sebutan Filsafat Illuminasi atau al-hikmah al-isyraqiyah. Menurut Hasan Hanafi, di tangan Suhrawaydi, filsafat Islam mencapai puncaknya.[5] Namun demikian, pembicaraan tentang dirinya masih mencerminkan dua hal saja. Pertama, ia tampil sebagai tokoh ‘sejarah’, di mana perbincangannya sekitar nama, tempat dan tanggal lahir, nama guru dan pendidikannya sampai tahun meninggalnya. Hal ini dapat dilihat di hampir semua buku (literatur) yang berjudul ‘History of Muslim Philosophy’ atau ‘History of Islamic Philosophy’.
Kedua, ia lebih ditampilkan sebagai tokoh sufi dan karenanya iapun ‘duduk’ sejajar dengan al-Hallaj, al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, dan lain-lain. Hal ini terlihat jelas dalam buku-buku ‘tasawuf’ yang ditulis oleh pemikir Muslim atau buku-buku yang bertema ‘Sufism’, ‘Mistical Dimension in Islam’ dll. yang ditulis oleh pemikir Barat. Menurut Hossein Ziai, para pemikir seperti Henry Corbin (dari Barat) dan Seyyed Hossein Nasr (dari kalangan Muslim) yang mempopulerkan Suhrawardi, juga masih mengesankannya sebagai sosok sufi dan masih bercorak historis. Ajaran Suhrawardi, seperti juga tokoh-tokoh sufi tersebut, memang bercorak mistiko-filosofis, tetapi yang mengesankan mengapa Suhrawardi disebut sebagai filosof (besar), sedang yang lain hanya tokoh sufi saja. Sudah tentu Suhrawardi punya kekhasan; tentang problematiknya, tawaran penyelesaiannya, metodologinya, dll.
Alasan yang terpenting adalah: sama seperti problem pengetahuan saat ini, problem mendasar di sekitar kemunculan Suhrawardi adalah soal “validitas pengetahuan”, di mana pemegang otoritas satu-satunya saat itu adalah logika Peripatetik. Ciri paling menonjol dari model pengetahuan ini adalah kebenaran silogisme, proposisi, konsep dan problem definisi. Makanya pengetahuan itu dapat dicari (mathlub) meski terkait objek yang tidak dapat dicerap (al-syai’ al-ghaib). Bagi Suhrawardi, model pengetahuan rasionalis seperti itu banyak terjadi kelemahan.
Suhrawardi dan Problem Logika
Suhrawardi, nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Yahya bin Habasy bin Amirak, ia lahir pada tahun 549 H/1155 M di Suhraward, Mediterania kuno, Iran Barat Laut dan meninggal di Aleppo pada tahun 587 H/1191 M.[6] Berarti ia meninggal dalam usia yang sangat muda (+ 38 tahun hijriah atau 36 tahun masehi). Dapat dibayangkan bahwa ia adalah seorang yang amat cerdas sekaligus mempunyai ‘pikiran nakal.’ Disebut cerdas, tidak saja karena Suhawardi telah menulis sekitar 50 judul buku dalam bahsa Arab dan Persia, dan sebagian besar telah sampai kepada kita, meski masa hidupnya terbilang pendek,[7] namun lebih dari itu buku-buku itu merupakan karya yang utuh. Disebut punya ‘pikiran nakal’, karena biasanya para sufi hidupnya sederhana menjahui ‘gemerlap’ dunia, Suhrawardi malah tinggal di istana, memenuhi undangan Malik al-Dzahir, seorang putra Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.[8] Artinya menjadi sufi tidak harus meninggalkan kehidupan keduniaan. Tampaknya hal ini yang kemudian dilakukan Jalaluddin Rumi.[9]
Ada sebuah teori bahwa pengetahuan intuitif atau lebih tepatnya ‘pilihan’ hidup sufistik itu adalah personal experience dalam arti pengalaman pribadi. Jika pengalaman demikian ‘diberlakukan’ pada dirinya sendiri dengan menyadari bahwa hal itu terjadi pada dirinya tanpa disangka-sangka, maka tidak akan menimbulkan persoalan, misalnya apa yang dialami oleh Abu Yazid al-Basthami. Sebaliknya akan menjadi masalah besar, jika pengalaman itu kemudian di’sulap’ menjadi sebuah ajaran (kefilsafatan), bahkan dalam banyak kasus, nasib pelakunya kemudian berakhir di tiang gantungan atau tebasan pancung oleh penguasa, seperti yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain. Inilah barangkali yang dialami juga oleh Suhrawardi, makanya ia dijuluki al-Maqtul atau al-Syahid,[10] yaitu hanya karena ajaran-ajarannya yang bercorak mistiko-filosofis (bahasa Azra) itu dianggap menyeleweng dari mainstream yang bersifat heterodoks (C.E. Farah)
Kecuali personal experience seperti dinyatakan di atas, pilihan hidup mistik lahir sebagai efek samping dari ‘kejenuhan’ formalisme (Mukti Ali, Simuh dll termasuk Annimarie Schimmel mengakui hal ini). Jenuh, karena –seakan- hanya ada satu logika (dalam hidup ini) yang disebut logika ‘monster’, yaitu suatu kerangka berpikir umum di mana seseorang sulit untuk menghindar dan melepaskan diri dari logika itu, seakan tidak punya pilihan lain, baik dalam berpikir, bersikap maupun bertindak. Jenuh dalam pengertian seperti inilah yang dialami oleh Hasan al-Basri. Hasan al-Basri, sebagaimana dimaklumi, memilih hidup sebagai zahid atau ‘âbid karena ‘jenuh’ terhadap formalisme atau logika ‘monster’, dalam hal ini, perdebatan yang berlarut-larut di sekitar suksesi sepeninggal Ali bin Abi Thalib, yang sudah tentu disertai dengan klaim-klaim teologis dan hukum.[11]
Dalam sejarah pemikiran Suhrawardi, tampak jelas, hal ini juga terjadi ­­­­­­­­­­­­­­­­­­padanya. Kecuali situasi perang (dalam hal ini perang salib) dari sisi ‘polkam’, logika Peripatetik rupanya merupakan ‘satu-satu’ nya model kerangka berpikir kala itu. Inilah logika monster itu. Bagi Suhrawardi logika ini mempunyai banyak kelemahan. Inilah yang menjadi keprihatinan (kegelisahan akademik, kata Amin Abdullah) Suhrawardi. Meski penulis memahami bahwa pemikiran Suhrawardi memiliki sejarah yang cukup panjang; perihal pendidikan, beberapa guru[12] dan aliran filsafat yang mempengaruhinya,[13] bahkan ia pun melakukan meditasi dan berhalwat,[14] namun harus diakui bahwa puncak dari semua itu adalah ingin mendobrak kejenuhan logika Peripatetik dengan segala karakteristiknya itu. Menurut Hossein Ziai, persoalan logika illuminasi –yang merupakan ‘penyerangan’ terhadap logika Peripatetik ini– adalah persoalan paling krusial dalam filsafat Isyraqiyah ini.[15] “Mengkaji filsafat illuminasi tidak dapat mengabaikan logika illuminasi,” demikian Ziai.[16] Poin inilah yang menjadi fokus pembicaraan makalah ini, meski harus diakui, justru karena ini menyangkut persoalan yang rumit, maka banyak terjadi penyederhanaan, sesuai tangkapan penulis.
Penerus Peripatetik?
Konon buku Surawardi yang harus dibaca pertama kali, untuk dapat memahami filsafat Isyraqiyah ini adalah al-Talwihât,[17] yaitu buku yang ditulis dengan memakai logika Peripatetik. Dari sinilah kemudian timbul berbagai pendapat, antara lain: bahwa Suhrawardi adalah penganut dan pelanjut filsafat Peripatetik. Sebagian yang lain mengatakan bahwa karena buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teori illuminasinya, maka sebenarnya dengan buku itu, Suhrawardi ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan logika Peripatetik itu, untuk selanjutnya menawarkan teori ‘alternatif’ nya itu.
Di kalangan peneliti, rupanya perdebatan itu tidak sesederhana itu. Suhrawardi menulis buku itu ketika ia berusia 20-an tahun (didasarkan atas usia tamatnya dalam menyelesaikan pendidikan), kalau benar buku itu merupakan bagian tak terpisahkan dari teorinya itu, berarti Suhrawardi sudah menemukan ke-Benar-an dengan Isyraqiyahnya itu pada usia yang relatif muda. Ini apa mungkin?
Menurut Ziai, bahwa tujuan di balik penyusunan dari masing-masing karya ini, tiada lain kecuali mengetengahkan filsafat illuminasi secara sistematis.[18] Ini berarti ketika Suhrawardi menegaskan bahwa al-Talwihât, misalnya ditulis sesuai dengan metode Peripatetik, bukanlah karya yang berdiri sendiri yang ditulis semata-mata sebagai penerapan dalam filsafat Peripatetik, juga bukan menggambarkan suatu periode Peripatetik dalam kehidupan dan karya-karya Suhrawardi. Sebaliknya, ia menunjukkan pada adanya kenyataan bahwa bagian-bagian atau dimensi-dimensi tertentu filsafat illuminasi sesuai dengan ajaran-ajaran Peripatetik.
Argumen Ziai, seluruh karya Suhrawardi ditulis atas permintaan sahabat dan murid-muridnya.[19] Ini berarti Suhrawardi telah menyampaikan ajaran-ajarannya pada saat ia mengajar secara lisan sebelum diturunkan dalam bentuk tulisan. Melihat usianya, Suhrawardi paling tidak hanya punya waktu sepuluh tahun untuk menulis seluruh karyanya. Waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang cukup panjang bagi seorang pemikir untuk mempunyai dua masa yang berlawanan dari pemikiran yang dikembangkan seluruhnya; Peripatetik dan illuminasionis, seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (pengkaji) seperti Seyyed Hossein Nasr,[20] Louis Massignon, Carl Brockelman, Henry Corbin.[21]
Diskursif dan Intuitif: Metode dasar Filsafat Isyraqiyah
Filsafat diskursif merupakan sikap, metodologi dan bahasa teknis filsafat, yang kebanyakan (tapi bukan semua) diasosiasikan dengan karya-karya Peripatetik. Istilah-istilah seperti bahts, al-hikmah al-bahtsiyyah, thariq al-masysya’in, semua menunjuk pada filsafat ini. Yang signifikan bagi Suhrawardi bukanlah penolakan bahts itu, tetapi justru penggabungan bahts yang diformulasi dalam filsafat illuminasi dan direkonstruksinya. Inilah yang, menurut Suhrawardi, ia ambil dari tradisi Peripatetik.[22]
Sedang filsafat intuitif, menurut Suhrawardi, adalah metode dan titik berangkat bagi rekonstruksi filsafat, termasuk sasaran filsafat illuminasi (yang ingin dicapai oleh para praktisi) dan dimasukkan sebagai suatu sistem yang sempurna. Untuk menunjuk filsafat/ metode intuitif ini, istilah yang digunakan seperti dzawq, al-hikmah al-dzawqiyyah, al-‘ilm al-hudhuri, al-‘ilm al-syuhudi, meski ada beberapa perbedaan. Metode ini yang ‘diklaim’ Suhrawardi sebagai temuannya dan sekaligus melengkapi kekurangan metode al-bahtsnya Peripatetik.[23]
Menurut Ziai,[24] Suhrawardi secara jelas menegaskan bahwa filsafat diskursif (al-hikmah al-bahtsiyah) adalah unsur penting filsafat intuitif; hanya dengan sebuah kombinasi yang sempurna dari dua metodologi itu yang akan membimbing ke arah ke kebijaksanaan sejati (hikmah), yang menjadi tujuan filsafat illuminasi.
Ciri utama metode diskursif Peripatetik adalah apa yang sekarang kita kenal dengan logika formal, yang menuntut kebenaran proposisi. Menurut logika ini pengetahuan yang benar dapat dicari (mathlub),[25] meski tentang sesuatu yang tidak/belum tercerap (al-syai’ al-gha’ib; absent thing). Aplikasi lebih jauh adalah dengan definisi, dalam arti essensialis (hadd; essentialist definition).[26] Singkat kata, sesuatu itu dapat diketahui, dengan cara mendefinisikannya dengan benar (maka ada kita kenal syarat-syarat definisi yang benar). Inilah proses “tahu” menurut filsafat Peripatetik.
Menurut Suhrawardi, dengan cara seperti itu pengetahuan mungkin dapat dicari tapi belum dapat diperoleh (hushul).[27] Pengetahuan, baru dapat diperoleh, dengan terlebih dulu subjek menyadari tentang ke-diri-annya (ana’iyya; self-consciousness)[28] dan menjalin hubungan langsung (fushul) dengan objek (al-syai’ al-hadlir). Dengan demikian baik subjek maupun objek disyaratkan sama-sama hadir. Perolehan ilmu semacam inilah yang dimaksud dengan ilmu hudluri (knowledge by presence). Di samping itu, keduanya (subjek dan objek ‘tahu’) harus berada dalam terang cahaya (nur). Dengan metode seperti ini realitas dapat diperoleh apa adanya (what it is) atau kuiditas (mahiyyah) dengan keseluruhan maknanya sebagaimana adanya (as it is). Inilah kira-kira metode intuitif yang bisa digambarkan secara sederhana.
Filsafat Isyraqiyah, dengan demikian, tidak sepenuhnya menolak teori-teori dalam filsafat Peripatetik, tetapi dengan melihat beberapa kelemahan kemudian disempurnakan dengan metode intuitif. Persoalannya, kapan metode diskursif itu digunakan dalam filsafat illuminasi?; dan pengetahuan yang bagaimana yang dimaui oleh filsafat Isyraqiyah? Persoalan ini akan dijawab pada pasal berikut ini.
Problem Validitas Pengetahuan
“Untuk pertama kalinya, saya tidak memperoleh (fisafat illuminasi) ini dengan pikiran, namun melalui sesuatu yang lain” (Opera II, hal. 10).[29] Ini merupakan pernyataan metodologis Suhrawardi yang paling eksplisit, yang selanjutnya mengundang komentar dari para pensyarah. Misalnya Syams al-Din al-Syahrazuri menganggap “sesuatu yang lain” (amr âkhar) sebagai visi (musyahadah) dan ilham pribadi (mukasyafah). Quthb al-Din al-Syirazi menganggapnya sebagai ilham dan intuisi (dzawq atau rasa) personal khas para filosof illuminasi. Sementara Muhammad Syarif Nizham al-Din al-Harawi menilainya sebagai inspirasi (ilham), ilham dan intuisi personal.[30]
Dari beberapa komentar di atas jelas bahwa dalam filsafat illuminasi, pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode intuitif (dzawq). Perolehan ilmu demikian inilah yang kemudian dapat dijelaskan dengan menggunakan metode diskursif (al-bahts).
Pengetahuan menurut Suhrawardi adalah pengetahuan yang benar-benar tahu. Istilah yang dipakainya adalah yaqinî atau haqiqî.[31] Barang kali, dalam bahasa Prof. Simuh, pengetahuan Suhrawardi adalah pengetahuan yang sudah sampai pada tingkat haqq al-yaqin, bukan ‘ain al-yaqin apalagi ‘ilm al-yaqin. Sementara pengetahuan yang hanya sampai pada ‘ilm al-yaqin, menurut filsafat ini, sebenarnya bukanlah pengetahuan dalam arti ‘ilm, tetapi hanya idrak (persepsi). Meskipun idrak sendiri mempunyai beberapa tingkatan, yaitu idrak bi al-hissi dan idrak bi al-aql.[32] Klaim Suhrawardi bahwa pengetahuan yang dicari melalui definisi, sebagaimana pada metode diskursifnya Peripatetik, hanyalah sampai pada idrak, belum ‘ilm.[33]
Kebijaksanaan, pada dasarnya diperoleh melalui illmuninasi (Isyraqiyah) dan sebagian dibimbing dengan memperkenalkan logika. Karenanya, dalam pandangan ini intuisi, inspirasi, dan wahyu adalah alat-alat yang diketahui sebelum investasi logis dan sebagai dasar bagi elaborasi pengetahuan selanjutnya, dan lebih jauh berperan sebagai langkah pertama dalam membangun ilmu yang benar (al-‘ilm al-shahih).[34]
Suhrawardi menegaskan bahwa kognisi (konsepsi/pemikiran) atau persepsi (idrak) atas sesuatu yang tidak ada (al-syay’ al-gha’ib) bisa saja terjadi, yaitu ketika idea (mitsâl) realitas (haqiqah) sesuatu itu sudah diperoleh, yaitu oleh subjek mengetahui.[35] Ketika idea sesuatu diperoleh, kesan atau pengaruh (atsar) yang nampak dalam wujud seseorang yang memahami, memantulkan keadaan pengetahuan yang ia capai.[36] Di sinilah sekali lagi perbedaan antara Peripatetik yang menghasilkan pengetahuan formal (al-‘ilm al-shury) dengan illuminasi yang menekankan kehadiran (al-‘ilm al-Isyraqi al-huduri).[37]
Pengetahuan illuminasi, –berbeda dengan pengetahuan Peripatetik, yang mengambil bentuk konsepsi kemudian konfirmasi– bukanlah pengetahuan predikatif.[38] Pengetahuan illuminasi didasarkan pada adanya hubungan yang diperoleh, dengan tanpa ekstensi waktu atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat (‘ân), antara “objek” yang hadir dan “subjek” yang mengetahui, dan ini diyakini Suhrawardi sebagai jalan yang paling valid bagi pengetahuan.
Suhrawardi menganggap pengetahuan bergantung pada hubungan antara subjek dan objek. Argumentasinya, bahwa essensi sesuatu pertama-tama harus diperoleh oleh subjek, baru kemudian sesuatu dapat diketahui, jika tidak demikian, keadaan (hâl) subjek berarti mendahului dan sesudah itu menjadi sama, yang tak sesuatu pun dapat disebut telah diperoleh. Karenanya, keadaan (respon psikologis) subjek terhadap objek merupakan salah satu faktor yang membatasi apakah pengetahuan itu diperoleh atau tidak. Kondisi subjektif atas pengetahuan dengan pengalaman, kehadiran dan intuisi ini sebenarnya bukan merupakan bagian dari teori predikatif dan formal Peripatetik tentang pengetahuan.[39]
Harus terdapat korespondensi yang sempurna antara “idea” yang diperoleh dalam subjek dan objek: hanya korespondensi itu yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh. Ini berarti, untuk memperoleh pengetahuan, suatu bentuk “kesatuan” harus dibangun antara subjek dan objek, dan keadaan psikologis subjek merupakan faktor yang menentukan dalam membangun kesatuan ini. Kesatuan subjek dan objek diperoleh dalam diri orang yang mengetahui dengan melakukan penyadaran diri, dan ini dapat terjadi karena tidak ada keterpisahan dalam realitas, tetapi hanya gradasi manifestasi esensi. Dengan kata lain, pengetahuan illuminasi didasarkan pada kesatuan antara subjek dan objek dengan cara “idea” objek diperoleh dalam kesadaran diri-subjek.[40]
Logika Illuminasi: beberapa poin
Hadd bukan Ta’rif
Seperti dijelaskan di atas, bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak akan dapat diperoleh dengan cara mendefinisikannya, dalam arti essensialis. Apa yang dilakukan kaum Peripatetik hanyalah reduksi atau pembatasan terhadap genus (jins). Suatu organisme mustahil diketahui hanya dengan mendekatkan antara yang substansi dan yang aksidensi; antara genus (jins) dengan diferensia (fashl). Menurut Suhrawardi, “bahkan kesulitan itu juga diakui oleh guru kaum Peripatetik sendiri (Aristoteles).”[41] Karena ta’rif hanya bisa terjadi dengan perantara benda-benda yang menghususkan totalitas suatu benda (ijtima’), yaitu keseluruhan organik.[42]
Kebenaran Formal sekaligus Material
Sejalan dengan itu, untuk dapat mendefinisikannya, sesuatu itu harus lebih dulu dispesifikasi, yaitu sesuai dengan sesuatu yang lebih nampak jelas atau lebih jelas (al-azhhar).[43] Inilah sebagian gagasan epistemologi illuminai tentang mengetahui sesuatu berdasarkan “melihat” sesuatu sebagaimana adanya. Maka konsep sesuatu, “kursi” misalnya, sebagaimana diakui oleh Peripatetik, tidak pernah ada. Karena itu tidak lebih dari konsep formal yang diciptakan dengan menyingkirkan sifat partikularnya. Berbeda dengan itu, logika Illuminasi tidak terbatas oleh kategori (ten categories) dan sebaliknya menekankan pada tangkapan essensi sesuatu itu. Sehingga, menurut penulis, manusia tidak mungkin mengetahui “kursi”, tetapi mereka mengetahui “kursi ini” atau “kuda balap”, dan lain-lain. Inilah yang dimaksud dengan “menghususkan totalitas sesuatu.” Atau “kursi itu” ada karena yang ini “meja”. Maka logika Illuminasi tidak hanya benar secara formal tetapi juga material.
Menghindari Tautologi
Untuk dapat mempunyai pengetahuan yang meyakinkan (al-ma’rifah al-mutayaqqinah) tentang sesuatu, seperti dijelaskan di atas, keseluruhan essensi (al-jami’ al-dzatiyyat) harus diketahui. Ini tidak dapat dilakukan hanya dengan proses mengurangi secara khas essensi-essensi (diferensia) sesuatu, karena bisa jadi masih terdapat berbagai-bagai sifat ‘tersembunyi” (sifat ghayr zhahirah) yang berhubungan dengan sesuatu, karena tidak mungkin membuat uraian yang sempurna.[44] Lagi-lagi inilah yang tidak dilakukan oleh Peripatetik. Seperti tampak dengan konsep “manusia”, mereka mendefinisikannya dengan “hewan yang berakal.” Menurut Suhrawardi bahwa kemampuan manusia menalar adalah aksidental dan posterian terhadap realitas manusia, dan karenanya “hewan yang berfikir” tidak menunjukkan esensi manusia. Ini berarti bahwa formula bagi definisi esensialis tentang manusia hanya valid secara formal, dan hanya sesuai dengan kaum Peripatetik. Kenyataannya, formula ini adalah sebuah tautologi, dan tanpa nilai nyata (real value) bagi seseorang yang berusaha mengetahui wujud manusia, yang diketahui, yaitu idea “manusia.”[45]
Barangsiapa menyaksikan sesuatu maka tidak perlu definisi
Suhrawardi mengemukakan dasar-dasar pandangannya mengenai bagaimana pengetahuan diperoleh. Sesuatu yang tunggal, yaitu sesuatu yang esensinya satu dan tidak tersusun dari dua unsur atau lebih, bagi Peripatetik, adalah hal-hal yang tidak diketahui, namun bagi penganut illuminasi hal itu dapat diketahui. Prinsip yang diajukan Suhrawardi adalah bahwa untuk dapat diketahui, sesuatu harus terlihat (dalam arti musyahadah) sebagaimana adanya (kama huwa), khususnya jika sesuatu itu benda tunggal (basith). Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh seseorang yang melihat sesuatu sebagaimana adanya akan memungkinkannya tidak memerlukan lagi definisi istaghna ‘an al-ta’rif,[46] dalam arti “bentuk sesuatu dalam pikiran adalah sama bentuknya dalam persepsi indria.”[47] Argumen-argumen ini memberikan suatu perubahan antara apa yang dapat kita sebut pendekatan mental terhadap pengetahuan dengan pendekatan yang menekankan “visi” langsung terhadap esensi sesuatu yang nyata dan menegaskan bahwa pengetahuan disebut valid hanya objek-objeknya “dirasakan.”[48]
Tidak Mungkin mengetahuinya bagi orang yang tidak menyaksikan
Menurut Ziai, Suhrawardi mengawali dengan sebuah contoh. “Hitam,” tegasnya adalah “suatu wujud tunggal” (syay’ wahid basith) yang jika diketahui sebagaimana adanya, tidak mempunyai bagian-bagian. “Hitam” tidak dapat didefinisikan sama sekali oleh orang yang tidak melihat sebagaimana adanya.[49] Artinya, jika benda tunggal “hitam” tersebut terlihat, ia dapat diketahui; sebaliknya jika tidak, maka tidak ada definisi tentangnya yang dapat menggambarkan pengetahuan tentangnya secara keseluruhan atau secara benar. Tuntutan Suhrawardi bahwa hal ini merupakan entitas tunggal, bukan majemuk adalah sesuai dengan pandangan Peripatetik. Tetapi pandangannya yang mensyaratkan subjek harus memahami keseluruhan objek agar dapat diketahui ini berasal dari proposisi umum bahwa pengetahuan tentang sesuatu terletak pada hubungan antara objek dan subjek yang mengatahui dan seterusnya.
Pengetahuan ini menuntut subjek yang mengetahui berada dalam posisi tempat pengetahuan tersebut; memahami benda secara langsung, dengan cara menghubungkan pandangan, sebagai suatu pertemuan aktual antara subjek yang melihat dan objek yang terlihat; suatu hubungan antara dua hal tanpa halangan apa pun, dan yang diperoleh adalah hubungan antara keduanya. Jenis “hubungan illuminasi” (idhafah isyraqiyah) inilah yang mencirikan pandangan Suhrawardi mengenai dasar pengetahuan.
Tuhan, objek “kenal” bukan objek “tahu”
Problem ketuhanan atau lebih tepatnya ma’rifatullah merupakan klimaks dari seluruh kritik Suhrawardi atas logika Peripatetik yang rasionalis sekaligus puncak dari bangunan epistemologi intuitif Illuminasi, alternatif yang ia tawarkan. Pengetahuan model manthiqi Peripatetik yang digali dari proses tajrid (abstraksi), tashawwur (konsepsi), hadd (batasan; definisi essensialis), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Dengan kerangka keilmuan seperti itu ternyata esensi objek belum tertangkap, sekalipun objek fisik, apalagi objek ghaib-metafisik. Maka wajar jika Tuhan tampil dalam banyak persepsi. Inilah awal malapetaka kehidupan beragama, sebagaimana crusada yang juga disaksikan Suhrawardi.
Tiga syarat pengetahuan Illuminasi, yakni subjek yang hadir, objek yang hadir, dan cahaya (nûr), menurut Suhrawardi, menjamin manusia menangkap esensi objek. Karena esensi objek hadir dalam Kesadaran-Diri subjek secara intuitif, atau sebaliknya, Kesadaran-Diri subjek selalu dalam kesiapan menangkap kehadiran esensi objek. Kondisi demikian ini terjadi dalam terang cahaya ilahi. Kerangka keilmuan ini yang disebut proses ta’rif yang memungkinkan manusia sampai pada ma’rifah (irfan), bukan proses hadd yang hanya sampai pada ‘ilm atau hanya idrak. Pengetahuan illuminasi memungkinkan manusia mengenal objek, lebih dari sekedar tahu.[50]
Bagaimana objek ghaib dapat hadir? Tentu tidak sulit menghadirkan objek riil (al-syahid) di hadapan subjek, tetapi bagaimana dengan objek ghaib? Pertanyaan ini tentu tidak menjawabnya, terutama bagi sebagian kalangan yang melihat satu-satu realitas ini adalah dunia riil yang berjalan di atas hukum-hukum logika-rasional. Konsep “hadir” dalam keilmuan Illuminasi sebenarnya bukan dalam pengertian fisik, di depan mata kepala. Tetapi “hadir” dalam pengertian ruhani, yaitu hadir dalam Kesadaran-Diri. Kehadiran objek bukan dalam bentuk fisik-materiil, bukan pula dalam bentuk konsepsi (al-tashawwur), tetapi berupa esensi (mahiyah) yang menyatu dalam Kesadaran Diri subjek.
Ma’rifatullah mungkin dapat digapai atau dicapai hanya dengan kerangka keilmuan demikian ini. Esensi ketuhanan mungkin dapat hadir hanya dalam kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiranNya. Artinya, kesiapan atau keinsyafan Kesadaran Diri atas kehadiran Tuhan memungkinkan kehadiranNya. Dalam tradisi Islam, sebenarnya juga tidak sulit penjelasannya. Ada penjelasan Rasul yang menyatakan: “engkau beribadah seakan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”.
Kontribusi: Keluar dari Krisis Keilmuan Modern
Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa persoalan keilmuan paling mendasar dewasa ini adalah terkait dengan problem paradigmatik yang menjadi dasar tumbuhkembangnya ilmu. Beberapa sumber menyebutkan, tidak kurang dari 400 tahun, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial, bahkan ilmu humanities. Seiring dengan proses universalisasi norma dan paradigma tersebut, temuan-temuan sains mengalami eskalasi (escalation) menjadi apa yang disebut Lyotard sebagai grandnarrative[51] yang mematikan narasi-narasi kecil dan menjadi kekuatan kuasa yang memarginalkan apa saja yang dianggap tidak rasional sebagaimana diungkap Foucault.[52]
Lahirnya norma-norma ilmiah sebagai garis demarkasi antara yang ilmiah dan non-ilmiah, bisa dikatakan sebagai buah dari refleksi filsafat positivisme. Auguste Comte, sang pelopor positivisme, hanya mempercayai fakta positif[53] yang digali dengan metodologi ilmiah. Lalu dilanjutkan oleh para filsuf Lingkaran Wina yang mengajukan prinsip verifikasi untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah.[54] Beberapa prinsip ini memberikan andil besar bagi tereliminasinya sistem pengetahuan lain dan sistem kebenaran lain yang berada di luar jangkauan norma-norma ilmiah itu, seperti metafisika, seni, tradisi dan lebih-lebih agama.
Konsekuensinya, jika ingin disebut ilmiah, maka metafisika, seni, tradisi dan termasuk agama harus mengikuti patok-patok ilmiah secara rigid sebagaimana sains. Di sini derajat sains menjadi lebih tinggi dari segalanya. Inilah yang disebut totalitarianisme in the new fashion. Era modern bisa dikatakan sebagai masa eksperimen besar-besaran terhadap saintifikasi metafisika, seni, tradisi dan agama. Misalnya Emmanuel Kant memulai untuk metafisika,[55] Alexander Gottleib Baumgarten (1750) dengan estetika ilmiah (inderawi) memulai untuk seni,[56] sementara tradisi segera digantikan misalnya oleh teori-teori developmentalisme, dan agama ditampilkan sebagai deisme atau sebagai theology of the secular city.[57] Sejarah mencatat, upaya ini pada gilirannya menyebabkan makna metafisika, seni, tradisi dan agama menjadi tereduksi, bahkan hilang dan mati. Maka dari sini, sebenarnya wacana dikotomi “ilmu umum dan ilmu agama” dapat dilacak jalinan akar geneologinya.
Maka, apa yang merupakan persoalan serius yang menandai krisis pengetahuan ini bukanlah pola pikir positivistis yang memang sesuai bila diterapkan pada ilmu-ilmu alam, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, lebih-lebih nantinya juga dalam ilmu keagamaan. Konsekuensi pandangan ini, membuat keilmuan modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai.[58]
Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru yang memberi posisi pada peran subjek dan peran pra-andaian (termasuk pra-andaian metafisik) dalam proses keilmuan bagi ilmu sosial dan lebih-lebih bagi ilmu keagamaan. Di sinilah letak signifikasi kajian epistemologi Illuminasi sebagai alternatif keluar dari krisis keilmuan modern.
Akhirul Kalam
Pengetahuan model manthiqi yang digali dari proses abstraksi (al-tajrid) untuk pembentukan konsep (al-tashawwur), meningkat ke poposisi (al-qadlyah), lalu silogisme (al-istidlal) ternyata hanya sampai pada idrak (persepsi). Ini kelemahan mendasar dari logika Peripatetik. Dalam bentuk yang modern, paradigma positivisme memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan logika Peripatetik ini.
Sementara visi illuminasi (al-musyahadah al-isyraqiyah) memungkinkan subjek mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yaitu mengetahui esensinya. “Kesadaran–Diri” menempati posisi penting dalam filsafat ini. Prinsip dasar pengetahuan ini adalah hubungan antara “aku” (ana, dzat subjek) dengan esensi sesuatu melalui jalan “wujud” (huwa, dzat yang diobjektivikasi, keituan [the that ness]) sesuatu. Sebagai epistemologi berbasis agama (spiritualitas), posisi anugrah Tuhan, sebagaimana konsep cahaya, menempati posisi yang penting. Ini yang menyebabkan ilmu tidak hanya dicari (mathlub) tetapi diperoleh (hushul).
Dengan mengungkap anasir-anasir lebih dalam, bisa jadi pengetahuan model illuminasi ini dapat sebagai alternatif bagi krisis keilmuan modern saat ini.
Wallahu a’lam bish shawab

Daftar Pustaka
Al-Attas, Seyyed Naquib,  Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995)
Corbin, Henry, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), Te Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967)
Cox, Harvey, Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967)
Faucoult, Michel, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979)
Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Giddens, Anthony.  (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975)
Hanafi, Hasan, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt)
Hardiman, Budi, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
Hardiman, Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003
Hardiman, F. Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991
Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
Kertanegara, Mulyadhi,Peran Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religiu: Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari kerjasama Studi Perbandingan Agama PPS UGM dengan Jemaat Ahmadiyah, dengan tema “Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Sosial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001
Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984)
Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004)
Marty, Martin E., “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
Nasr, Seyyed Hossein, “Pengantar”, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994)
Nasr, Seyyed Hossein, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam MM. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963)
Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto&London: New American Library, 1968)
Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: Caravan Book)
Ratna, Nyoman Kutha, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Rayan, Mohd Ali Abu, Ushûl al-Falsafah al-Isrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-ma’rifah al-Jami’ah, tt)
Schimmel, Annimarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta: Rajawali Press, II/1997)
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya, Majmu’ah Mushannafat Syaykh Isyraq, (Teheran: Anjuman Syahansyahay Falsafat Iran, 1397 H) Jilid I dan II
Ziai, Hossein, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia: Brown University, 1990)

[1]Menurut Armahedi, dampak pertama terkait potensi destruktif yang ditemukan sains yang secara serta-merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan-kekuatan militer dunia. Dampak kedua adalah dampak tak langsung berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan tek­nologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal, dan keter­asingan mental yang dibawa oleh pola hidup urban yang mengikuti industri­alisasi ekonomi. Dampak keempat yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia. Lihat Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004), p. 221-222
[2]Episteme merupakan keseluruhan ruang makna dan prapengandaian yang mendasari kehidupan yang memungkinkan pengetahuan bisa terlahir. Maka episteme berisi hal-hal yang bisa dipikirkan dan dipahami pada suatu masa. Michel Foucault lebih jauh melihat, episteme merupakan ‘medan’ penelusuran epistemologis dari kelahiran pengetahuan. Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994), p. xxii
[3]Lihat Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), p. 194
[4]Lahirnya norma-norma ilmiah seperti pada Positivisme yang hanya mempercayai fakta “positif” dan yang digali dengan “metodologi ilmiah”, lalu Positivisme Logis yang mengajukan prinsip “verifikasi” untuk membedakan bahasa yang meaningfull dan meaningless, juga Karl Popper yang menawarkan falsifikasi (error elimination) sebagai standar ilmiah. Lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[5] Kehadiran Suhrawardi dalam dunia pemikiran Islam itu sendiri merupakan penyambung ujung-ujung kesempurnaan pemikiran. Dalam segi pemikiran ia hidup pada akhir fase pertama perkembangan kebudayaan Islam, ketika filsafat mencapai kesempurnaannya di tangan ibn Rusyd (1126-1198) dan tasawuf di tangan Ibn ‘arabi (1165-1240), kemudian pada abad berikutnya ilmu kalam di tangan al-Iji (w. 1388). Jadi Suhrawardi datang setelah pemilahan metode penalaran dan zauq mencapai puncaknya. Lihat Hasan Hanafi, Dirasât Islâmiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, tt), p. 274
[6]Henry Corbin, “Suhrawardi, Shihab al-Din Yahya” dalam Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, (New York & London: Macmillan Publishing Co., 1967), p. 486; Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York, Toronto & London: New American Library, 1968), p. 328
[7]Seyyed Hossein Nasr, Three Muslem Sages, (New York: Caravan Book), p. 56
[8]ibid., p. 57
[9]Mulyadhi Kertanegara, “Peran Agama Dalam Memecahkan Problem Etniko-Religius: Perspektif Islam”, makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Reaktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Soasial” UGM, Yogyakarta, 23 Agustus 2001
[10]Disebut demikian karena ia mati terbunuh atau dihukum mati. Menurut catatan Seyyed Hossein Nasr. Ketika ia menerima tawaran Malik al-Zhahir untuk tinggal di istana. Pamornya menjadi menurun, terutama di kalangan ulama. Mereka menuntut agar Suhrawrdi dihukum mati, tetapi Malik al-Zhahir menolak. Mereka lalu mendekati Shalah al-Din al-Ayyubi yang kemudian mengancam akan menurunkan anaknya, kecuali jika ia mau mengikuti aturan para ulama. Suhrawardi kemudian dipenjarakan dan pada tahun 587/1191 ia meninggal dunia, entah karena dicekik atau karena dibiarkan kelaparan. Lihat Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi al-Maqtul”, dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Harrassowitz, 1963), p. 375
[11]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Yogyakarta, Rajawali Press, II/1997), p. 25; Annimarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), p. 35
[12]Konon, mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Majduddin Jili di Maraghah, dan kemudian belajar pada Zahiruddin di Isfahan serta Fakhruddin al-Mardini (w. 1198 M), yang diduga sebagai gurunya yang paling penting. Gurunya yang lain adalah Zahir al-Farsi, seorang ahli logika dan al-basa’ir. Suhrawardi juga berguru pada Umar ibn Sahlan al-Sawi, seorang filosof dan ahli logika. Lihat Dr. Muhammad Ali abu Rayyan, Ushûl al-Falsafah al-Isyrâqiyah ‘inda Syihâb al-Dîn al Suhrawardî, (Iskandariyah: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, tt), p. 19-20
[13]Tentang aliran filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Suhrawardi, mulai dari aliran filsafat Platonism, Aristotelianism, Peripatetik Ibn Sina sampai dengan pengaruh al-Ghazali dll. Lihat ibid., p. 71-119
[14]Sebagaiana secara eksplisit dikatakan Suhrawardi dalam “Pengantar Hikmah al-Isyraq”, lihat Apendix A dalam Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 173
[15]Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq, (Georgia, Brown University, 1990), p. 143
[16]Ibid., p. 115
[17]Menurut Abu Rayan, buku ini merupakan satu dari lima buku Suhrawardi yang ditulis pada periode peripatetik. Empat yang lain adalah al-Lamahat, al-Muqawamat, al-Mutharahat, al-Munajah. Lihat Mohd Ali Abu Rayan, op.cit., p. 61
[18]Hossein Ziai, op.cit., p. 10-11
[19]ibid., p. 17
[20]Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din, op.cit., p. 374
[21]Adalah beberapa sarjana yang mengakui karya-karya Suhrawardi seperti al-Talwihat, al-Muqawamat dan al-Masyari’ wa al-Mutharahat sebagai karya peripatetik, yang secara esensial tidak berkaitan dengan filsafat illuminasi yang pada masa sebelum Suhrawardi mengembangkan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan metode illuminasi. Hossein Ziai merujuk pada Louis Massignon, Recueil de textes inedis (Paris: Paul Geuthner, 1929), p. 111-113; Carl Brockelman, GAL I, p. 437-438.GAL SI, p. 481-483; Henry Corbin, “Prolegomenes”, Opera II.
[22]Hossein Ziai, ibid., p. 14 Footnote 3
[23]ibid.
[24]ibid., p. 22
[25]ibid., p. 136
[26]Ini juga diantara perombakan Suhrawardi bahwa yang selama ini disebut ta’rif oleh kaum peripatetik, sebenarnya adalah hadd, yang hanya menekankan kebenaran essensi atau forma. Sedang ta’rif ia klaim lebih dari sekedar itu, yaitu sampai kepada kebenaran material. Maka ta’rif kemudian diterjemahkan dengan “menjadikan ditahui”; making known.
[27]Hossein Ziai, ibid., p. 141
[28]ibid., p. 117
[29]Sebagaimana dikutip Hossein Ziai :
?? ???? (???? ???? ???????) ???? ??????? ?? ??? ????? ???? ???
Lihat. Hossein Ziai, ibid., p. 43 footnote 2
[30]ibid.
[31]ibid., p. 54
[32]Muhammad Ali Abu Rayyan, op.cit., p. 306 dan 316; dan ada beberapa literatur yang menyebut idrak bil hissi, idrak bil fahm, dan idrak bil aql
[33]Argumen Suhrawardi: ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ??
Lihat Hossein Ziai, op.cit., p. 133
[34]Ibid., p. 44
[35]Ibid., p. 140 dan terutama footnote 4:
?? (?????) ????? ???? ?????? ???
[36]ibid., p. 61
[37]Bandingkan dengan Seyyed Hossein Nasr, Pengantar, dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1994), p. 14
[38]Hossein Ziai, op.cit., p. 141
[39]ibid., p. 142
[40]ibid., p. 143
[41]Hossein Ziai, ibid., p. 78 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 21
[42]ibid.
[43]ibid., p. 65
[44]ibid., p. 66
[45]ibid., p. 118-9
[46]Hossein Ziai, ibid., p. 134 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 73-74
?? ????? (?????) ?????? ?? ??????? (barangsiapa sudah menyaksikan, maka tidak butuh lagi definisi)
[47]Hossein Ziai, ibid. ????? ?? ????? ?????? ?? ????
[48]ibid., p. 133 dikutip dari Suhrawardi, Opera II, p. 42, 134-135
[49]Hossein Ziai, ibid. ?? ???? ?????? ??? ?? ?????? ??? ?? (tidak mungkin mengenalnya bagi orang yang tidak menyaksikan sebagaimana adanya)
[50] Ada perbedaan antara dua istilah ini, misalnya suatu ungkapan: “saya tahu tapi belum/tidak kenal”. Mengenai hal ini lihat misalnya uraian pada catatan kaki oleh penyunting atas buku Seyyed Naquib al-Attas,  Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), p. 20-24
[51]Lyotard, The Postmodern Condition, A Report and Knowledge, (Manchester: Manchester University Press, 1984), p. 37
[52]Lihat Michel Faucoult, Diciplin and Punish: The Brith of Prison, trans. Alan Sheridan, (New York: Peregrine, 1979); Bandingkan dengan Budi Hardiman, “Kritik atas Patologi Modernitas dan [Post]Modernisme: Habermas dan Para Ahli Waris Neitzsche” dalam Driyarkara, Tahun XIX, No. 2
[53]Auguste Comte, perintis positivisme, lebih tajam lagi, menjelaskan istilah ‘positif’ itu dengan membuat beberapa distingsi: antara ‘yang nyata’ dan ‘yang khayal’; ‘yang pasti’ dan ‘yang meragukan’; ‘yang tepat’ dan ‘yang kabur’; serta ‘yang berguna’ dan ‘yang sia-sia’. Lihat F. Budi Hardiman, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991
[54]Uraian lebih luas lihat buku penulis, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi dasar, Paradigma, dan Kerangka Dasar Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar Budaya, 2003)
[55]Rumusan kegelisahan Kant sebenarnya, antara lain dinyatakan: How is Pure Mathematics Possible?, How is Pure Natural Science Possible?, How is Pure Metaphysics in General Possible?, How is Pure Metaphysics Possible as Science? Lihat Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. The Paul Carus, revisi oleh James W. Ellington (Indianapolish/Cambridge: Hackett Publishing Company, 1977)
[56]Nyoman Kutha Ratna, Estetika, Sastra dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), p. 2
[57]Konsep ini dipopulerkan oleh Harvey Cox. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective (New York: The Macmillan Company, 1967). Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama di luar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. Lihat Martin E. Marty, “Does Secular Theology Have a Future” dalam The Great Ideas Today 1967 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1967)
[58]Ketiga prinsip positivistis dalam ilmu-ilmu sosial ini, menurut Anthony Giddens, membawa implikasi sebagai berikut. Pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum-hukum’ seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Artinya, seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial bersifat bebas-nilai (value-free). Lihat A. Giddens (ed.), Positivism and Sociology, (London: Heinemann, 1975), p. 3-4